Ratio legis: Kewenangan Masyarakat Hukum Adat & Perlindungan Hukum dalam Menguasai Hak atas tanah Ulayat atau yang Serupa atas Tanah Adat Masyarakat Tolaki

Kendari-SarabaNews.com

Penulis Yahyanto, SH. MH(Dosen Dan Dekan Fakultas Hukum USN KOLAKA).

Foto : Istemewah
Pada hakikatnya peraturan perundang-undangan yang terkait, mengatur dan berkorelasi dengan hak atas tanah ulayat beraneka ragam. Mulai dari UUD, Ketetapan MPR, UU, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, sampai dengan sejumlah Perda yang telah ada. Di dalam literatur kurang lebih 19 Peraturan Perundang-undangan yang mengatur hak atas tanah ulayat. Di dalam UUD 1945 misalnya ketentuan Pasal 18 B ayat (2) menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam UU”. “Hak-hak tradisional” yang diakui dan di junjung tinggi meliputi hak ulayat termasuk hak waris atas tanah adat, hak-hak memperoleh manfaat atau kenikmatan dari tanah dan air atau hasil hutan dll, di sekitarnya. Pengakuan dan penghormatan tersebut bukan berarti menjadi hak yang tidak bisa disentuh atau diatur, namun pengaturan tersebut harus benar-benar untu sebesar-besar kemakmuran bersama tanpa merugikan kepentingan masyarakat yang mempunyai hubungan dengan hak tradisional tersebut.
Pelaksanaan dari UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) menunjuk pembentukan UU utk mengatur hal tersebut, UU No 5 Tahun 1960 tentang  Pokok-pokok Agraria berlakunya dapat menghilangkan sifat dualistik dalam hukum agraria kolonial yg sangat merugikan. UUPA didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum adat yaitu hukum yang sesuai dengan kepribadian serta merupakan hukum rakyat bangsa Indonesia yang asli. Secara yuridis formal eksistensi hak ulayat atau hak yang serupa, termaksud dalam ketentuan Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Ketentuan Pasal 3 UUPA menentukan bahwa: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan UU dan Peraturan lain yg lebih tinggi. Begitupun juga Ketentuan Pasal 5 UUPA: ” Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara…..”. Serta banyak lagi Perundang-undangan yang mengatur tentang itu.
Hak dan wewenang masyarakat hukum adat mengelola hak atas tanah ulayat diperoleh secara original, tradisional dan turun temurun. artinya hak dan wewenang tersebut bersifat asli, telah ada sebelumnya dan diperoleh dari generasi satu ke generasi berikutnya. Hak ulayat merupakan salah satu bagian dari hak-hak tradisional masyarakat hukum adat bukan merupakan pemberian negara, melainkan berlangsung secara tradisional, turun-temurun dan alamiah. Eksistensi hak ulayat merupakan otorisasi dari masyarakat hukum adat.
Area tanah bekas ladang, lokasi tumbuhnya pohon sagu, lokasi melepaskan kerbau, lokasi tempat perburuan, rawa dan bagian batang sungai tempat menangkap ikan, kwintal yang penuh tanaman yang biasanya terdapat kubur leluhur, pekarangan yang telah ditinggalkan karena harus berpindah ke perkampungan lainnya, semuanya menurut hukum adat pertanahan orang Tolaki, merupakan tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh suatu keluarga, baik karena keluarga itu pernah secara langsung mengolahnya, maupun karena tanah itu tanah warisan secara turun temurun. Hingga kini tanah-tanah dimaksud, dikenal dengan: 1. Ana homa atau ana sepu (belukar bekas berladang); 2. O Galu (tanah persawahan); 3. O epe (lokasi tanaman sagu); 4. Walaka (areal tempat melepas kerbau); 5. Lakua (areal tempat berburu); 6. Arano atau Pinokotei (rawa atau bagian batang sungai tempat menangkap ikan); 7. Waworaha ( areal tanaman jangka panjang); dan 8. Pambahora (Kintal yg ditinggalkan). Berdasarkan hal tanah masyarakat Tolaki yang berciri dalam 8 kriteria tersebut layak mendapatkan pengakuan karena sifatnya orisinal, tradisional, turun-temurun dan serta asli.
Kembali pada ketentuan Pasal 3 UUPA tidak menyebut secara ” expressive verbis” dan langsung dengan menyebut “tanah ulayat” melainkan frasa “masyarakat-masyarakat hukum adat” yang berkolerasi erat dengan pengertian “tanah ulayat”. Konklusi dasar dari ketentuan pasal 3 UUPA menyiratkan bahwa politik hukum yang memberi perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dalam menguasai hak atas tanah ulayat bersifat berlapis atau terbatas karena eksistensinya hanya akan diakui sepanjang terbatas “Apabila tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, sepanjang menurut kenyatannya masih ada, tidak boleh bertentangan dengan UU dan Peraturan lainnya”.
Perlindungan hukum masyarakat hukum adat dalam menguasai hak atas tanah ulayat teramat sulit ibarat surga yang turun dari langit walaupun eksistensi hak ulayat diatur dalam Peraturan tertinggi hingga terendah akan tetapi sayang tidak diikuti dengan perlindungan dalam bentuk surat otentik yang dikeluarkan oleh BPN. Disebabkan oleh antara lain:
1.disebabkan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah hak ulayat tidak dapat dimasukkan dalam golongan objek pendaftaran tanah karena objek pendaftaran tanah hanya meliputi bidang-bidang tanah yang dipunyai hak milik, HGU, HGB, hak Pakai, Tanah hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, hak tanggungan dan tanah negara.
2. Peraturan menteri Agraria kepala BPN no 5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat dalam Pasal 2 point (2) Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola Sumber daya alam, juga menunjukan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda katografi dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah.
Bagaimana kondisi kekinian tanah adat masyarakat Tolaki..?? Secara historis dan asal usul maka bisa di katakan masih hidup merupakan bagian dari hukum yang tidak tertulis, berdasarkan 8 ciri-ciri tersebut. Untuk mengikuti eksistensi secara rasio legis hukum Indonesia maka perlu adanya perjuangan untuk mengakui dalam bentuk Naskah akademik serta Peraturan Daerah (Perda) pengakuan Pemerintah Daerah terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dalam mengelola hak ulayatnya sesuai Peraturan Menteri Agraria Kepala BPN no 5 tahun 1999 serta Sepanjang menurut kenyataannya masih ada.
Sebagai kesimpulan bahwa dimensi perlunya pendaftaran hak ulayat tanah adat masyarakat Tolaki dalam Peraturan Daerah pertama, adanya eksistensi pengakuan hak atas tanah adat masyarakat Tolaki; kedua; adanya perlindungan secara tegas hak masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayat sehingga dengan demikian diharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat hukum adat dalam mengelola hak ulayatnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *