Benang merah bisa ditarik dari ragam hasil survei beberapa lembaga terkait elektabilitas tokoh atau bakal calon presiden (capres) untuk 2024. Benang merah itu adalah hanya ada tiga tokoh yang angka elektabilitasnya berselisih besar dengan yang lainnya. Ketiganya adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.
Elektabilitas Prabowo, Ganjar, dan Anies sejauh ini konsisten berada pada angka dua digit meski tidak ada yang dominan bisa mencapai 20 persen. Sementara, nama-nama selain mereka terpaut jauh pada jangkauan angka elektabilitas tiga sampai yang terendah, nol koma.
Khusus Ganjar, elektabilitasnya belakangan terus meningkat saat Prabowo dan Anies stagnan. Jika sebelumnya, Litbang Kompas menempatkannya di atas bersama Prabowo Subianto dengan angka elektabilitas 13,9 persen, pekan lalu Poltracking Indonesia lewat hasil survei yang digelar pada 3 hingga 10 Oktober 2021, menempatkan Ganjar berada di paling atas dengan elektabilitas sebesar 18,2 persen.
Untuk kali pertama Ganjar melampaui Prabowo yang berdasarkan survei Poltracking meraih elektabilitas 17,1 persen. Sementara, Anies ‘nyaman’ di posisi ketiga dengan 10,2 persen.
Sial bagi Ganjar, nasibnya sepertinya tidak akan sama seperti Joko Widodo (Jokowi) pada 2014 silam, kala PDIP akhirnya mengikhlaskan tiket capres untuk Jokowi yang saat itu, sama seperti Ganjar sekarang, berada di puncak survei. Keputusan Megawati Soekarnoputri yang memberikan mandat kepada Jokowi pada 2014 tak bisa diganggu gugat meski sebelumnya, sebagian politisi senior PDIP tidak sreg dengan Jokowi yang dinilai bukan kader asli partai.
Sekarang, saat Ganjar merupakan kader asli banteng, capaian elektabilitasnya bukan jaminan dirinya akan mendapatkan tiket capres dari Megawati seperti Jokowi. Kondisi internal PDIP saat ini berbeda lantaran putri Megawati, Puan Maharani-lah yang diplot untuk menjadi penerus takhta dari trah Soekarno.
Namun, plot itu tidak sejalan dengan realita elektabilitas Puan yang sangat kecil (1,5 persen/Poltracking). Sejak dijadikan menteri pada kabinet periode pertama kepemimpinan Jokowi, hingga sekarang menjabat ketua DPR, Puan yang fotonya belakangan juga gencar muncul di banyak baliho ‘Kepak Sayap Kebhinekaan’, tak terkerek juga elektabilitasnya.
Bagi Megawati sebagai pemegang keputusan absolut di PDIP, 2024 bak momentum ‘now or never’ baginya untuk menyorongkan Puan dalam kontestasi pilpres. Apalagi sebagai partai pemenang pemilu, PDIP adalah partai yang secara ambang batas atau (threshold) bisa leluasa tanpa berkoalisi untuk menentukan pasangan calon dan mendaftarkan capres-cawapres ke KPU pada September 2023 nanti.
Sikap Megawati dalam beberapa kali arahan kepada kadernya pun semakin tegas. Meski dia tidak pernah menyebut orang per orang, berulang kali dia menekankan pentingnya loyalitas dan meminta kadernya untuk sukarela mundur jika tidak bersedia untuk loyal alias manut pada instruksinya sebagai pemimpin tertinggi partai.
Bagi Ganjar, it’s now or never too. Karena kesempatan atau momentum, apalagi dalam politik tidak datang dua kali.
Pada era demokrasi dengan sistem pemilihan langsung berprinsip one man one vote, hasil survei elektabilitas lembaga survei adalah representase dari kehendak publik atas siapa yang mereka inginkan untuk menjadi pemimpin. Sehingga, jika Ganjar memang berniat menjadi capres pada 2024, hengkang dari PDIP adalah keputusan realistis baginya untuk kemudian dipinang oleh parpol atau gabungan parpol yang siap mengusungnya.
Kesempatan Ganjar dipinang oleh parpol lain juga besar. Apalagi, parpol-parpol sepertinya akan berusaha membuat Pilpres 2024 menghadirkan tiga pasangan calon, mengingat parahnya polarisasi yang terjadi di masyarakat akibat dari dua kali pilpres dengan hanya dua pasang calon.
Saya memprediksi, tokoh atau bakal calon dari unsur non-parpol dengan elektabilitas tinggi seperti Anies, Ridwan Kamil, dan/atau nama lain yang mendadak melejit popularitasnya nanti akan diusung oleh gabungan parpol semenjana atau kecil. Ganjar pun, jika memang nantinya hengkang dari PDIP, akan digaet oleh koalisi atau poros alternatif ini.
Tetapi saya juga mengingatkan, skenario-skenario di atas bisa saja buyar begitu saja. Perlu dingingatkan bahwa, MPR di bawah kepemimpinan Bambang Soesatyo saat ini tengah berupaya menggolkan rencana amandemen UUD 1945.
Memang, MPR menyebutnya sebagai upaya ‘amandemen terbatas’ karena hanya ingin merombak pasal yang berkaitan dengan haluan negara. Namun, tidak ada yang bisa menjamin, bahwa amandemen terbatas nantinya tidak akan merembet pada pasal-pasal terkait pemilu, pilpres, atau bahkan masa jabatan presiden.