Jakarta-SarabaNews.com.
Abuddin Nata dalam buku Akhlak Tasawuf mengutip surat Al Bayyinah ayat 5. Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Wa maa umiruu illa liya’buduullaha mukhlishina lahu addina hunafaa-a wa yuqimuu as-shalaata wa yu’tu az-zakaata wa dzalika dinul-qayyimah.”
Yang artinya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”
Dilihat dari fungsinya, ilmu tauhid mengehendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja.
Tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subjek yang ada dalam rukun iman tersebut.
Jika seorang Muslim percaya bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru dan mengikuti sifat-sifat tersebut.
Allah SWT misalnya bersifat Ar Rahman dan Ar Rahim (Mahapengasih dan Mahapenyayang), maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan sikap kasih sayang di muka bumi.
Demikian juga jika Allah SWT bersifat Asmaul Husna yang jumlahnya ada 99, maka Asmaul Husna itu harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian, beriman kepada Allah SWT akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.
Demikian juga apabila seorang Muslim beriman kepada malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia meniru sifat-sifat yang terdapat pada malaikat. Seperti sifat jujur, amanah, tidak pernah durhaka, dan selalu patuh melaksanakan apa yang diperintahkan Allah SWT.
Percaya kepada malaikat juga dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para malaikat, sehingga dia tidak berani melanggar larangan Allah SWT.
Dengan cara demikian, percaya kepada malaikat akan membawa kepada perbaikan akhlak yang mulia. Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah At Tahrim ayat 6:
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Laa ya’shunallaha maa amarahum wa yaf’aluna maa yu’marun.”
Yang artinya, “(Malaikat-malaikat) itu tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” Dalam surat Qaf ayat 18, Allah berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ “Maa yalfizhu min qaulin illa ladaihi raqibun ayyidun.” Yang artinya: “Tiada suatu ucapannya yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
Demikian pula halnya beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah, khususnya Alquran. Maka secara akhlaki harus diikuti dengan upaya menjadikan Alquran sebagai wasit, hakim, serta imam dalam kehidupan. Selanjutnya diikuti pula dengan mengamalkan segala perintah yang ada dalam Alquran dan menjauhi apa yang dilarang.
Dengan kata lain, beriman kepada kitab-kitab Allah, khususnya Alquran, harus disertai dengan berakhlak dengan akhlak Alquran. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang mana akhlak beliau pun dipuji oleh Allah SWT.
Dalam sebuah hadits disebutkan, كان خلقه القرآن “Kaana akhlaquhu Alquran.” Yang artinya, “Akhlaknya (akhlak Nabi Muhammad SAW) adalah akhlak Alquran,”.
Untuk itulah, beriman kepada Kitab erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia. Selanjutnya adalah beriman kepada Rasul, khususnya Nabi Muhammad SAW. Yakni agar manusia juga mencontoh sikap dan tuntunan yang diberikan Nabi Muhammad SAW yang memiliki akhlak mulia.
Dan beriman kepada hari akhir dimaksudkan bahwa dari sisi akhlaki, beriman kepada ini harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatan yang dilakukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat kelak. (dilansir dari Republik co.id, 30/9/2021) RM.