Kendari-SaatnyaRakyatBicara. Com

Bank Sultra menunjukkan manuver strategis yang ambisius dalam menghadapi tuntutan disrupsi digital sekaligus tantangan pemenuhan modal inti minimum. Dalam sebuah Media Gathering di Kendari, Direktur Utama Bank Sultra, Andri Permana Diputra Abubakar, secara terbuka mengumumkan evolusi bank dari citra lama sebagai “Bank Penyalur Gaji ASN” menjadi institusi finansial yang agresif menggarap sektor riil dan ekosistem digital.
Digitalisasi Memimpin, Bukan Mengekor
Pergeseran masif perilaku nasabah dijawab Bank Sultra dengan penguatan ekosistem digital yang signifikan. Data hingga September 2025 menunjukkan Mobile Banking Bank Sultra telah merangkul 115.513 pengguna, sementara adopsi QRIS melonjak tajam mencapai 37.165 user.
“Kami menyadari selama ini Bank Sultra erat dikenal sebagai bank penyalur gaji ASN. Namun, kini kami telah berevolusi,” tegas Andri. “Setiap pembukaan rekening kini disertai aktivasi mobile banking. Kami pastikan kemudahan transaksi ada di ujung jari nasabah.”
Strategi ini bukan sekadar mengejar angka, melainkan pondasi untuk menopang agenda ekspansi bisnis yang lebih besar.

Fokus ke Akar Ekonomi: Sektor Riil Jadi Tulang Punggung
Komitmen Bank Sultra untuk menggerakkan ekonomi lokal diwujudkan melalui alokasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) tahun 2025 sebesar Rp300 Miliar. Penyaluran KUR ini fokus menyasar sektor produktif, dengan target utama:
- Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan: Rp150 Miliar
- Sektor Perdagangan: Rp124,1 Miliar
Bahkan, sebagai mitra strategis Kementerian Pertanian, Bank Sultra juga menyalurkan Kredit Usaha Alsintan (Alat dan Mesin Pertanian) dengan kuota Rp15 Miliar, menunjukkan dukungan konkret terhadap modernisasi sektor agraris di Sultra.
“Kami hadir memastikan dana mengalir ke sektor produktif yang menjadi tulang punggung ekonomi Sultra. Ini bukti Bank Sultra adalah mitra maju bersama bagi seluruh lapisan masyarakat,” ujar Andri, menegaskan peran vital bank 8dalam pembangunan daerah.
Jalan Cerdas Menuju Rp3 Triliun: KUB yang “Tak Mengikat”
Tantangan terbesar Bank Pembangunan Daerah (BPD) saat ini adalah pemenuhan modal inti minimum Rp3 Triliun sesuai POJK Nomor 12 Tahun 2020. Bank Sultra, yang saat ini memiliki modal inti Rp1,9 Triliun dan masih kekurangan Rp1,1 Triliun, memilih langkah yang cerdik dan non-konvensional.
Untuk memenuhi kewajiban OJK, Bank Sultra resmi masuk ke dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) dengan Bank Jawa Timur (Jatim).
Mengapa Bank Jatim?
Andri mengungkapkan bahwa pilihan KUB dengan Bank Jatim didasarkan pada prinsip “tidak mengikat”.
- Modal Raksasa: Bank Jatim memiliki modal inti yang sangat besar, mencapai Rp111 Triliun, menjadikannya jangkar kuat bagi KUB.
- Non-Akuisisi: Komposisi saham Bank Jatim di Bank Sultra hanya 3,26%, dengan penempatan saham senilai Rp100 Miliar (dengan nilai per lembar saham Rp25 Juta).
- Exit Strategy Jelas: Alasan terpenting pemilik saham (Pemerintah Daerah) menyetujui KUB ini adalah karena sifatnya yang tidak mengikat. “Kalau sudah mandiri (modal terpenuhi), Bank Sultra bisa keluar kapan saja dengan membeli sahamnya kembali sebesar 100 Miliar,” jelas Andri.
Model KUB ini dianggap jauh lebih ringan dan fleksibel dibandingkan pola kerja sama bank lain yang cenderung bersifat akuisisi dan mengikat, memberikan Bank Sultra ruang untuk tetap menjaga independensi dan kontrol penuh atas kebijakan usahanya sambil memenuhi persyaratan modal OJK.
Langkah ini memperlihatkan bahwa di tengah tekanan regulasi, Bank Sultra tidak hanya berjuang secara internal melalui digitalisasi dan KUR, tetapi juga piawai dalam bermanuver di kancah perbankan nasional demi memastikan keberlangsungan dan pertumbuhan bank ke depan.