Saatnya Rakyat Bicara

Audit Eksternal Wajib dan Persentase Nominal CSR: Kadin Sultra Dorong Perda TJSLP sebagai “Jaring Pengaman” Rakyat dari Eksploitasi Tambang

Kendari-SaatnyaRakyatBicara.Com

Foto : Istemewah

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Sulawesi Tenggara (Sultra) menegaskan bahwa Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSLP) harus lebih dari sekadar aturan administratif. Raperda ini didorong menjadi instrumen hukum yang mengikat, transparan, dan berdaya paksa untuk mengakhiri praktik Corporate Social Responsibility (CSR) sektor pertambangan yang selama ini rentan manipulasi dan tidak tepat sasaran.

​Dukungan kritis ini disampaikan oleh Wakil Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Kadin Sultra, Supriadi, dalam Focus Group Discussion (FGD) Raperda TJSLP di Kendari pada Selasa (18/11/2025). Menurut Kadin, persoalan utama CSR saat ini adalah ketiadaan pengawasan eksternal yang efektif.

​”CSR ini dikelola perusahaan sendiri. Lalu siapa yang mengawasi? Tidak ada,” ujar Supriadi. “Perda inilah yang harus menjadi instrumen pengawasan yang mengikis potensi manipulasi laporan, terutama yang disyaratkan untuk penerbitan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) di Kementerian ESDM.”

​💰 Menuntut Persentase Wajib dan Transparansi OSS

​Kadin Sultra secara khusus menyoroti dua lubang besar dalam regulasi CSR yang ada, yaitu ketiadaan:

​Standar Nominal atau Persentase Wajib: Selama ini, besaran alokasi dana CSR tidak baku, sehingga tidak ada jaminan bahwa keuntungan besar perusahaan diimbangi dengan kontribusi yang sepadan bagi daerah. Kadin menuntut Perda harus menetapkan persentase standar yang wajib dialokasikan dari hasil keuntungan perusahaan.

​Mekanisme Transparansi Publik: Untuk memastikan program berjalan, Supriadi mengusulkan kewajiban perusahaan untuk mengunggah laporan pertanggungjawaban CSR ke sistem OSS (Online Single Submission). Langkah ini dinilai sebagai bukti konkret dan dapat diakses publik bahwa program telah dijalankan.

​”Investasi di daerah wajib memperhatikan kondisi sosial lingkungan dan jaminan kesejahteraan masyarakat. Ini sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945,” tegasnya, menggarisbawahi bahwa kekayaan alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya segelintir korporasi.

​⛓️ Opsi Sanksi Paling Tegas: Pencabutan Izin

​Supriadi menekankan bahwa Perda TJSLP harus dilengkapi dengan sanksi yang berjenjang dan efektif, bukan sekadar teguran administrasi. Ia mengusulkan sanksi paling tegas harus mencakup:

​Penolakan Rekomendasi RKAB: Pemerintah daerah wajib menolak rekomendasi perpanjangan RKAB jika perusahaan tidak melampirkan laporan CSR yang transparan dan terbukti.

​Pencabutan Izin Investasi: Bagi perusahaan yang berulang kali tidak patuh dan gagal menjalankan tata kelola CSR yang terarah, opsi pencabutan izin harus diberlakukan.

​”Kalau sudah berulang kali tidak patuh, harus ada opsi pencabutan izin. Untuk apa datang berinvestasi di daerah kita kalau mengelola CSR saja tidak bisa dan pembangunan masyarakat tidak berjalan?” tutup Supriadi.

​Kadin mendesak agar tata kelola CSR ke depan diubah dari sekadar “sumbangan tunai” menjadi program terarah yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan fundamental masyarakat terdampak, menjadikan Perda TJSLP sebagai tonggak penting dalam memastikan keberadaan perusahaan tambang benar-benar memberikan manfaat nyata bagi kesejahteraan masyarakat Sultra.

 

Exit mobile version